BEKABAR.ID, KERINCI – Pernyataan pihak manajemen PT Kerinci Merangin Hidro (KMH) yang menyebut nilai kompensasi sebesar Rp 5 juta per Kepala Keluarga (KK) telah disepakati bersama tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan lembaga adat, menuai bantahan keras dari sejumlah perwakilan warga dua desa terdampak pembangunan PLTA di aliran Sungai Tanjung Merindu.
Perwakilan warga yang mengikuti aksi protes beberapa waktu yang lalu menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan kolektif yang mewakili suara seluruh masyarakat terkait nominal kompensasi tersebut. Bahkan sebagian warga merasa proses musyawarah yang disebut oleh pihak perusahaan dilakukan secara tertutup dan terbatas hanya melibatkan segelintir orang.
“Kalau itu disebut hasil musyawarah resmi, kenapa kami warga yang matapencahariannya terdampak langsung, tidak pernah dilibatkan. Nilai Rp 5 juta itu terlalu kecil dan tidak manusiawi jika dibandingkan dengan dampak sosial yang kami alami,” ungkap Fuji Subrianto, salah seorang warga yang berprofesi sebagai nelayan, Rabu (09/07/25).
Pria yang akrab disapa pak Dede ini juga membantah klaim bahwa warga yang menolak kompensasi bukanlah penduduk desa yang sah. Ia menegaskan bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan tanah dan masih ber-KTP desa setempat.
“Sungai yang menjadi tempat kami mencari nafkah hilang. Tapi kami hanya dihargai Rp5 juta? Jangan seolah-olah kami minta lebih tanpa dasar. Kami hanya menuntut keadilan,” tambahnya.
Dia juga menyayangkan pernyataan yang mengatasnamakan lembaga adat. “Kalau bicara adat, adat punya aturan. Kompensasi itu harus disepakati secara mufakat oleh ninik mamak dan pemilik ulayat, bukan sekadar diumumkan sepihak,” tegasnya.
Dia juga mempertanyakan mengapa nominal kompensasi tidak sesuai dengan tuntutan awal dalam beberapa pertemuan informal sebelumnya, dimana warga pernah menyampaikan tuntutan atas ganti rugi yang lebih layak, berdasarkan dampak yang ditimbulkan, terutama hilangnya sumber mata pencaharian seperti aliran sungai untuk mencari ikan, sawah yang tak bisa lagi digarap, serta keretakan sosial akibat ketimpangan kompensasi.
“Jangan sebut ini kesepakatan kalau suara rakyat dibungkam. Kami tidak anti pembangunan, tapi kami menolak pemaksaan. Kalau PT KMH ingin pembangunan lancar, maka mulai dulu dengan keadilan dan penghormatan terhadap hak masyarakat,” tegasnya.
Fuji juga meminta pemangku kebijakan turun tangan untuk memverifikasi ulang proses pemberian kompensasi dan legalitasnya, serta mengevaluasi dugaan adanya pemaksaan persetujuan yang tidak mewakili kepentingan publik.
“Yang kami minta bukan belas kasih. Kami hanya ingin diperlakukan sebagai manusia yang punya hak atas tanah, alam, dan kehidupan yang layak,” pungkasnya.
Editor: Sebri Asdian