Warga Siaga 24 Jam Jaga Sungai, Tolak Aktivitas PLTA di Pulau Pandan

Warga Siaga 24 Jam Jaga Sungai, Tolak Aktivitas PLTA di Pulau Pandan

BEKABAR.ID, KERINCI – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berlokasi di wilayah Desa Pulau Pandan, Kabupaten Kerinci, semakin menuai perhatian serius dari warga. Sejak dimulainya konstruksi pintu air proyek tersebut pada tahun sebelumnya, masyarakat mulai merasakan dampak langsung terhadap mata pencaharian mereka, terutama yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian, perikanan sungai, dan nelayan darat.

Kondisi aliran Sungai Tanjung Merindu yang dulunya deras dan menjadi sumber pengairan utama sawah kini berubah drastis. Aktivitas alat berat dan pengalihan arus air yang dilakukan oleh pihak pelaksana proyek PLTA KHM disebut warga sebagai penyebab utama berkurangnya populasi ikan dan melemahnya aliran air untuk memutar kincir tradisional milik petani.

“Sejak pekerjaan PLTA KHM berlangsung, aliran sungai di samping desa kami berubah total. Airnya tidak lagi deras seperti dulu, kincir air tak bisa dipakai untuk mengairi sawah. Ikan pun makin susah dicari karena aktivitas alat berat,” ujar salah seorang warga yang sehari-hari menangkap ikan dan bertani.

Situasi ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Warga dari dua desa, yakni Pulau Pandan dan desa pemekarannya, Karang Pandan kini menolak memberikan akses operasi PLTA ke sungai Tanjung Merindu. Mereka menegaskan bahwa selama tuntutan mereka belum dipenuhi oleh pihak pengelola PLTA, maka aktivitas proyek tidak boleh dilanjutkan.

Meskipun pihak PLTA telah menjalin kesepakatan dengan sebagian kecil kepala keluarga (KK) dan memberikan kompensasi, mayoritas warga masih bertahan pada sikap penolakan. Menurut mereka, kompensasi itu tidak menyentuh akar persoalan dan tidak sebanding dengan kerusakan ekosistem serta hilangnya sumber penghidupan jangka panjang.

“Yang menerima kompensasi itu hanya beberapa KK, itu pun tanpa musyawarah bersama. Kami sebagai warga yang terdampak langsung tidak mau hanya dibayar sekali lalu dilupakan. Kami ingin solusi yang adil dan menyeluruh,” tegasnya.

Situasi kini makin tegang. Warga telah melakukan ronda selama 24 jam penuh di sekitar lokasi proyek sebagai bentuk protes dan penjagaan terhadap sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Tenda-tenda jaga dibangun, dan setiap malam kelompok warga bergantian berjaga untuk memastikan tidak ada aktivitas dari pihak PLTA yang masuk tanpa persetujuan.

“Sungai ini bukan hanya soal air, tapi soal hidup kami. Kalau sungai dirusak, kami mau makan dari mana? Kami tidak akan pergi sampai hak kami dipenuhi,” ucapnya.

Warga mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk turun tangan menyelesaikan konflik ini secara adil dan terbuka. Mereka berharap, ada dialog resmi dan transparan antara perwakilan warga, pihak PLTA, dan pemerintah, agar tidak terjadi tindakan yang bisa memicu konflik horizontal.

Editor: Sebri Asdian