Air Bersih Terkikis Tambang dan Limbah: Hukum Lingkungan Kita Sedang Tidur?

Air Bersih Terkikis Tambang dan Limbah: Hukum Lingkungan Kita Sedang Tidur?

Oleh:

Adam Hazariga

Air bersih seharusnya menjadi hak dasar setiap manusia. Tapi hari ini, di banyak daerah termasuk di Provinsi Jambi. Sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi saluran racun penuh limbah, lumpur, dan kotoran. Setidaknya ada dua penyebab utama yang saling memperparah. Pertama, aktivitas tambang yang rakus dan tak terkendali. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola limbah rumah tangga dan industri kecil.

Tambang emas ilegal atau PETI (Penambangan Tanpa Izin) marak di kabupaten seperti Sarolangun, Merangin, dan Bungo. Limbah merkuri dibuang langsung ke sungai, mencemari air, ikan, bahkan tanah tempat warga bercocok tanam. Praktik ini bukan hal baru. Bertahun-tahun sudah berlangsung, tapi penegakan hukum seolah mandul. Padahal, Pasal 69 UU Nomor 32 Tahun 2009 sudah jelas melarang keras pembuangan limbah B3 ke lingkungan.

Tambang batubara pun tak kalah merusak. Tailing dan air asam tambang mengalir ke sungai, meracuni ekosistem air dan menggusur akses masyarakat terhadap air bersih. Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tapi kenyataannya, hak itu kerap dikalahkan oleh kepentingan ekonomi perusahaan besar.

Yang lebih menyedihkan, banyak perusahaan masih menganggap AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) sebagai formalitas semata. Pelanggaran demi pelanggaran jarang berujung pada sanksi tegas. Hukum lingkungan kita tak bertaring, seakan tunduk pada modal.

Tak adil jika hanya menyalahkan tambang. Kita pun, sebagai masyarakat, punya andil dalam krisis ini. Banyak warga masih membuang limbah rumah tangga sabun, deterjen, plastic langsung ke sungai. Industri kecil membuang limbah cair tanpa proses pengolahan. Kota Jambi dan beberapa daerah lain pun masih kekurangan fasilitas pengolahan limbah (IPAL). Akibatnya, sungai yang sudah tercemar industri makin parah oleh perilaku kita sendiri.

Ini menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan masih jauh dari ideal. Edukasi soal pentingnya menjaga air bersih belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Padahal, peraturan daerah sudah ada. Tapi lagi-lagi, masalahnya bukan di ketiadaan aturan melainkan pada lemahnya pelaksanaan dan pengawasan.

Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat dari kerusakan lingkungan. Tapi yang sering terjadi justru sebaliknya: negara lebih ramah kepada investor tambang ketimbang rakyat yang kehilangan mata airnya. Ketimpangan ekologis dan sosial ini tidak bisa dibiarkan terus menerus.

Sudah waktunya pemerintah, baik pusat maupun daerah, menegakkan hukum lingkungan secara adil dan tidak pilih kasih. Penambang ilegal harus dihentikan. Perusahaan yang mencemari harus dihukum. Masyarakat pun perlu didampingi diajak bukan hanya menjadi penonton, tapi bagian dari solusi: mulai dari memilah sampah, tidak membuang limbah ke sungai, hingga aktif menjaga sumber air di sekitar.

Air bersih bukan hanya isu lingkungan, tapi soal keadilan. Soal hidup dan mati. Jika sumber air terus dirusak tanpa pertanggungjawaban, maka bencana ekologis bukan lagi soal “jika”, tapi soal “kapan”. Dan ketika bencana itu datang, kita tak bisa lagi berkata bahwa kita tidak tahu.